Hari Ibu


Ndak usah diucapin di internet, nak. 
Ibu ndak perlu itu.
Lha wong Ibu saja ndak bisa pakai HP yang canggih-canggih.
Gimana Ibu mau membalas ucapanmu?

Kalau mau bahagiain Ibu mah gampang, nak.
Telfon saja Ibu waktu malam. 
Ceritakan ke Ibu apa yang kamu lakukan hari ini.
Begitu saja, Ibu sudah merasa senang.

Cepat lulus lalu pulanglah ke rumah, nak.
Adik sudah mulai sibuk kuliah.
Bapak masih kerja di luar kota.
Ibu sering sendirian.

Telfon Ibu, nak!
Pulanglah, nak!
Ibumu kangen.

(L.H.S.2015)



Kemana Perginya Jilbabmu?

Hey, kenapa kamu melihatku seperti itu? Teringat sesuatu ya, saat melihat jilbabku ini? Jilbab lebar dengan model yang (katanya) kuno. Yang kubiarkan ia terjulur, membalut tubuhku apa adanya, dengan warna biru tosca yang monoton dan sederhana. Jilbab yang kupakai ini, kainnya mulai kusut. Warnanya pun juga mulai pudar. Kalau kau ingin lihat lebih dekat, beberapa jahitannya juga sudah ada yang mbredel. Benar-benar kuno memang.

Eits, tunggu sebentar. By the way, aku masih ingat bagaimana jilbabmu yang lebih lecek daripada milikku, lho!

Iya, jilbabmu yang sudah lama kita incar dan akhirnya mampu kita beli menggunakan uang tabungan. Bukan, bukan yang hitam. Yang satunya, yang coklat tua. Yang dulu kita beli bersama di Mall di sebelah kampus. Naaaah, akhirnya kau mulai ingat sekarang. Iya, jilbabmu yang jahitannya juga mbredel di mana-mana itu. Sama, kan? Atau malah lebih parah?

Siang ini, sepulangnya aku dari ke kampus, aku melihat jilbabku ini benar-benar kasihan. Warnanya biru tosca sebenarnya. Tapi, tadi pagi aku tidak sengaja menumpahkan kopi dan membuatnya basah. Membuat warna sejuknya yang mulai pudar, sedikit kotor terkena noda hitam. Tapi, melihatnya demikian, aku justru teringat nasib jilbab coklat tuamu itu.

Kau tahu?
Dulu, sebelum kita masuk ke kelas, aku selalu ingin berlama-lama menghadap cermin di toilet untuk merapikan jilbabku yang terkadang berantakan. Aku juga senang saat kamu memintaku merapikan jilbabmu yang sama berantakannya, "Namanya juga belajar, lama-lama juga rapi." katamu menenangkan. Aku masih ingat kebiasaanmu yang meniup-niup bagian atas jilbabmu yang terus melorot karena sedikit kebesaran, atau saat kau menyeka rambutmu yang kadang sedikit terlihat keluar. Dulu, aku sering sebal ketika kamu memamerkan jilbab barumu kepadaku. Dulu aku juga selalu mempercepat langkahku saat memasuki mushalla setiap kali kulihat sepatumu sudah tertata rapi di depan pintu. Bahkan, kita pernah ditegur dosen karena berlarian di koridor hanya untuk berlomba menuju mushalla. Hehehe. Lucu ya? Dulu.

Ah, dulu aku tidak pernah menganggap itu sebagai kenakalanmu. Aku tidak melihatnya sebagai keburukanmu. Justru malah kesederhanaanmu. Kebanggaanmu untuk tunduk dalam kebaikan. Memang masih pemula, mau bagaimana lagi? "Namanya juga belajar, lama-lama juga rapi". Ucapanmu itu terus terngiang di telingaku.

Hm, aku jadi semakin ingat bagaimana kesederhanaanmu saat awal kita berkenalan dulu. Bukan hanya jilbab "kuno"mu itu, tapi juga pakaianmu, gaya hidupmu, tutur katamu, dan kepalamu yang selalu menunduk dengan senyum malu saat kakak tingkat yang sedang tertarik padamu, ketahuan sedang curi-curi pandang ke arahmu.

Hey, penampilanmu dulu anggun sekali! Kamu tidak pernah peduli orang melihatmu seperti apa. Tidak peduli orang berkata apa. Yang penting, itu kamu. Dan aku suka itu. Itulah alasanku mengawali obrolan denganmu. Itulah awal dimana kita saling menemukan dan menggali lebih dalam tentang siapa kamu dan siapa aku. Mengisi hari-hari dengan tumpah ruah cerita kita. Menemukan seseorang untuk berbagi semuanya. Itu semua hanya karena, aku melihat kesederhanaanmu.

Tapi, akhir-akhir ini aku tidak lagi melihatnya. Jilbabmu pergi entah kemana. Apalagi setelah kamu bertemu teman-teman baru yang mungkin lebih gaul daripada aku. Setiap kutanya, kau selalu mengelak. "Ah, cuma sekali ini saja, kok!" jawabmu ringan. Akhir-akhir ini juga kudengar kabar dari teman-teman tentang kedekatanmu dengan seseorang. Lelaki bermobil, mereka menyebutnya. Benarkah? Lalu mengapa kamu tidak menceritakannya kepadaku? Lalu mengapa kamu sampai berani melepas jilbabmu di tempat umum dan memamerkan rambut hitammu yang bergelombang indah itu? Apa kamu malu? Apa kamu merasa kuno dan kalah cantik daripada teman-temanmu? Atau malah, lelaki bermobil itu yang mengubahmu menjadi demikian?

Seperti aku merindukan jilbab lusuhmu itu, aku juga merindukan kesederhanaanmu. Seperti aku yang tidak pernah lagi melihat sepatumu terparkir rapi di depan pintu mushalla, aku tidak pernah lagi melihat keanggunanmu yang selalu kujatuhi rasa iri. Kita tidak lagi menyapa. Tidak lagi berbagi cerita. Tidak lagi saling mengenal.

Duniamu sudah berubah, teman. Namun, sebagai teman, aku berhak memberi tahumu, kan? Keputusan berjilbab bukan tentang cantik atau jelek. Gaul atau kuno. Ini tentang kebanggaan kita untuk tunduk pada kebaikan.

Selamat berproses dengan caramu, teman.
Aku akan tetap menunggumu, jika suatu hari nanti kau datang, entah kau ingin pamer jilbab baru atau dengan jilbab lusuhmu.

Jika Kita Menikah Nanti

Jika kita menikah nanti dan aku membiasakan pola hidup sederhana pada keluarga kecil kita, apakah kamu akan menutup mata dari mereka yang memiliki rumah yang lebih megah, kendaraan yang lebih mewah, dan harta yang lebih berlimpah daripada aku? Apakah kamu juga akan menutup telinga dari para istri yang menceritakan penghasilan suami mereka yang lebih besar dariku? Atau mengabarkan bahwa mereka dibelikan ini dan itu oleh suami mereka?

Jika kita menikah nanti dan penghasilanku hari itu ternyata pas-pasan, apakah kamu akan tetap memandangku dengan senyum manakala aku pulang membawa segenggam rezeki yang kuperoleh dari pekerjaanku? Berapapun nilainya, apakah kamu akan tetap merasa bahagia?

Jika kita menikah nanti dan aku mati-matian berusaha mencari rezeki di jalan Allah di tengah-tengah zaman yang semakin menggila ini, apakah kamu akan tetap bersyukur dan mendukungku? Apapun pekerjaanku? Berapapun penghasilanku? 

Ini susah, lho?
Aku tidak ingin kamu menikah denganku hanya semata-mata karena cinta.
Kamu harus paham konsekuensinya. Kamu harus siap dengan segudang permasalahannya.
Apakah kamu sudah memikirkannya matang-matang?

Bukan maksudku mengajakmu hidup susah.
Aku hanya ingin mempersiapkanmu untuk menjadi perempuan mandiri nan tangguh.
Yang tidak mudah menyerah saat dihimpit masalah, Yang tak mudah mengeluh saat rapuh.

Bukannya aku tidak ingin memanjakanmu dengan kasih sayang.
Aku harus memastikanmu hidup tenang di hari tua.
Menikmati umur yang sisa seberapa dengan canda tawa.

Bukannya segala maumu tak ingin kupenuhi.
Tapi diluar sana masih banyak manusia yang tidak lebih beruntung daripada kita.
Bagaimana aku bisa leluasa membelikanmu barang ini dan itu, tapi masih banyak orang yang bingung mau makan apa mereka hari itu? Tidak, tidak! Aku tidak mau kita hidup tanpa tanggung jawab sosial seperti itu!

Aku ingin menikahimu karena Tuhanku menyuruhku begitu. Menikah denganku tidak menjamin kamu hidup bahagia. Aku ingin mengajakmu ke dalam hutan penuh marabahaya yang penuh dengan ketidak pastian nasib. Aku ingin mengajakmu ke dalam belantara hidup yang penuh petualangan mendewasakan. Niatkan ibadah, dan apa kata orang tidak akan jadi masalah. Hidup sederhana, tapi bukan sederhana yang tidak bisa apa-apa.

Pada akhirnya, aku akan menantikan waktu-waktu dimana kita duduk bersebelahan di halaman rumah, memandangi mendung langit yang sedang mencurahkan rahmat-Nya, menikmati suara jangkrik dan katak bersautan, sambil ditemani secangkir teh manis hangat dan kue-kue lunak yang mudah kamu telan.

Silakan dipertimbangkan. Jangan lupa libatkan Tuhan.
Jika kamu mampu menjawab "Ya" dengan tabah terhadap seluruh pertanyaan dalam tulisanku ini, maka aku akan memperjuangkanmu.

Insha Allah..
Aamiin..

"Ngaca Dulu Dong!"

"Diri sendiri aja belum bener, udah sok suci ngingetin orang lain! Ngaca dulu dong! Urusin diri sendiri aja dulu!"

Akhir-akhir ini, ucapan seperti itu sering kita dengar di lingkungan pertemanan kita sehari-hari, baik secara langsung maupun lewat kolom-kolom komentar di media sosial. Dari komentar-komentar yang dilontarkan, kebanyakan dari mereka merasa apa yang mereka lakukan bukanlah urusan orang lain, sehingga mereka tidak berhak untuk mengingatkannya. Yang terakhir membuat geger adalah kasus seorang perempuan pelaku penginjak bunga amaryllis yang di-bully netizen karena berkomentar sejenis itu. 

Jujur, saya pribadi merasa risih jika ada seseorang yang berkata seperti itu.

Jadi seperti ini lho, mbak, mas.
Menurut saya, setiap manusia mempunyai kewajiban untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan.
Saya kira, setiap agama yang ada di muka bumi ini, tidak ada satupun yang mengajarkan penganutnya untuk berbuat buruk terhadap orang lain. Siapapun Tuhan yang kita sembah, tidak ada satupun yang mengajarkan hamba-Nya untuk berlomba-lomba dalam berbuat kerusakan.

Memang, setiap manusia sudah pasti tidak ada yang sempurna, suci, dan benar-benar luput dari dosa. Tapi bukan berarti kita, sebagai manusia, boleh membiarkan orang lain dalam berbuat dosa. Justru itulah nikmatnya. Orang lain menegur jika kita berbuat salah, dan kita mengingatkan orang lain jika mereka berbuat dosa. Bersama-sama saling bersinergi untuk berbuat lebih baik dalam mencari sebuah kebenaran hakiki. 

Namun bukan berarti kita bebas seenaknya sendiri menyalahkan orang lain. Kita sebaiknya lebih dulu "berkaca" pada diri sendiri, karena manusia memang gudangnya salah. Dan dalam penyampaian pesan untuk mengajak pada kebaikan, menurut saya, sebaiknya juga menggunakan cara yang baik-baik. Saya yakin, kita mampu untuk melakukannya. Jangan menyalahkan orang lain, hanya karena dosanya berbeda dengan kita. "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui." (QS. An-Nur:19)

Coba bayangkan jika semua orang di dunia saling acuh, tidak ingin mengingatkan orang lain atas kesalahannya karena hanya takut dicap "sok suci"? Bayangkan jika semua orang di dunia tidak ingin ditegur hanya karena itu bukanlah urusan orang lain? Saya khawatir, ucapan-ucapan seperti itu hanya akan menimbulkan generasi-generasi mati hati. Generasi-generasi anti kritik. Generasi-generasi apatis.

Dalam hal ini, karena saya seorang muslim, Insha Allah saya akan terus berpatokan pada konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Mengajak kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan). Dalam QS Al-Ashr (1-3) sendiri juga sudah disebutkan bahwa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan, serta saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran. 

Maaf jika ada yang tersinggung. Bukan maksud saya untuk menggurui dalam menulis ini. Saya hanya menyampaikan pendapat saya. Teman-teman boleh setuju, boleh juga tidak. Mengingatkan orang lain tidak harus dengan cara menjatuhkan harga dirinya di depan orang banyak, bukan? Cukup ingatkan lewat private message, Insha Allah hasilnya akan lebih terasa daripada mencecarnya di kolom komentar, karena itu adalah salah satu cara untuk menjaga aib orang lain.

Semoga kita semua mampu mengambil manfaatnya. Semoga kita tetap saling mengingatkan kesalahan dan mengajak orang lain pada kebenaran, apapun resikonya. Umat manusia membutuhkan kita semua untuk bersama-sama menuju pada kebaikan.



Mari berteman dan saling mengingatkan :)
Latif Hendra S.




Latif Muda Meninggal Dunia

Hari ini, roh telah meninggalkan jasadku.

Terbujur...
Kaku...
Biru...
Dingin...

Aku bahkan sama sekali tidak mampu membantu, mengurusi jenazahku sendiri.
Aku hanya mampu menonton. Tidak lebih!

Ibu,
Aku sempat bersedih saat menyaksikanmu.
Hanya air matamu yang benar-benar jatuh.
Hanya hatimu yang benar-benar rapuh.
Sebab selama ini, kita tidak pernah benar-benar terpisah jauh.

Bapak.
Aku senang, air mata tidak hujan lebat di matamu.
Namun aku yakin, mereka sedang terjun bebas dalam batinmu.
Ah, biar saja.
Lagipula, aku juga tidak membutuhkannya.
Cukup doakan aku saja sehabis shalat atau ngajimu.

Bapak, Ibu.
Tolong sampaikan ucapan terima kasihku yang paling tulus,
kepada saudara-saudara yang telah sudi memandikan jenazahku,
yang telah sudi mengkafani tubuhku.
yang telah sudi menshalatkanku.
Maaf, kali ini aku tidak bisa menyampaikannya sendiri.

Bapak,
Coba peluk Ibu.
Jangan biarkan ia terus menerus menangis.
Sesungguhnya aku hanya meninggalkan dunia, bukan surga.
Aku tidak pergi. Aku hanya kembali.
Ini sudah waktuku, Pak, Bu.
Mau bagaimana lagi?

Lagipula, yang mati hanyalah jasadku.
Aku masih hidup di kenangan kalian masing-masing,
dengan segala baik burukku.

Oh ya,
Jangan lupa beritahu kawan-kawanku,
Latif muda meninggal dunia.
Sampai disini pemanasanku, kawan.
Setelah ini aku akan benar-benar pergi berpetualang.
Sendirian.

Maaf, aku tetap saja merepotkan kalian.
Tidak hanya sewaktu hidup, tapi setelah meninggal pun masih saja.
Terima kasih semuanya.
Aku tunggu bait-bait doanya, ya?
Sampai jumpa.





Latif Hendra S.