Menjadi Lelaki

"Mas, kalau ada perempuan yang bisa membuat mas lebih rajin ibadahnya. Bisa meluruhkan kebiasaan buruk mas. Bisa membuat hidup mas jadi lebih baik lagi. Bapak mau kok membantu mas untuk memperjuangkannya." Tiba-tiba ucapan bapak memecah kebisuan yang sudah satu jam ini melanda kami.

"Maksudnya?" Aku masih belum paham mengapa sepagi ini, bapak tiba-tiba mengajakku bicara hal itu. Atau mungkin, ibu memberitahu bapak tentang keinginanku untuk menikah muda? Entahlah. Yang jelas, terlihat dari raut wajahnya, bapak sedang ingin berbicara serius denganku kali ini. 

"Mas minta izin dulu sama dia. Kalau dia mengizinkan, nanti kita datang kerumahnya. Kita temui orang tuanya, minta izin untuk melamarnya dan segera menikah, kalau mas niatnya memang biar menjauhi zina." Jawab bapak santai. "Urusan kerjaan yang belum mapan atau uang yang belum cukup, nanti insha Allah bapak bantu sedikit-sedikit. Nanti dibantu juga sama Allah." 

Aku mulai paham kemana bapak menggiring pembicaraan ini. Sebagai seorang bapak yang jarang bertemu dengan anaknya, kegiatan apapun akan dijadikan sebagai quality time untuk saling berbicara mengenai apapun. Tentang kesibukan pekerjaan di kantor, tentang adik yang baru saja mengenal cinta pertamanya, tentang ibu yang selalu tenggelam dalam sinetron di TV, sampai tentang kasus pembunuhan dan dekadensi moral remaja yang sedang marak diberitakan di koran-koran. Kali ini, sambil mencuci mobil, bapak mengajakku bicara lebih dari seorang bapak pada anaknya. Ia mengajakku bicara sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.

Bapak berdehem, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Mas, kalau dia bisa membuat pribadi mas jadi lebih bermanfaat. Kalau dia bisa mencambuk semangat mas dan menahan ego mas yang kadang nggak terkontrol itu. Kalau bersamanya, mas merasa bisa lebih dekat sama kebaikan. Kalau bersamanya, mas bisa lebih dewasa dan mengasihi orang lain. Jangan sekali-kali berhenti memperjuangkannya sampai dia bilang ke mas bahwa dia nggak mau diperjuangkan sama mas." 

Aku terdiam. Menanti kalimat yang akan dilontarkan bapak selanjutnya.

"Mas, perempuan manapun pasti ingin mendapatkan laki-laki yang paling bisa menghargai dan menghormatinya. Kalau mas sudah memberikan penghargaan dan penghormatan terbaik, maka perasaan cinta akan otomatis mengikuti. Perempuan manapun bisa mencintai mas. Kalau sudah begitu, jadilah laki-laki yang baik. Jangan suka memberi harapan palsu pada sembarang perempuan. Kaya zaman bapak dulu kuliah, banyak teman perempuan yang suka sama bapak, tapi bapak tetap milih ibumu. Yang lain bapak cuekin aja. Hebat kan?" Bapak tertawa. Memamerkan pengalaman masa lalunya. Membiarkan aku berpikir hebat. Aku rasa, bapak mana lagi yang seperti bapakku. Yang paling paham tentang bagaimana menjadi laki-laki sejati dan selalu mengajarkanku tentang bagaimana cara memuliakan perempuan.

"Mas, kalau ternyata dia mengizinkan mas untuk memperjuangkannya, lakukan dengan ikhlas. Mungkin kita memang sudah mengusahakannya dengan sungguh-sungguh, tapi bukan berarti dia sudah pasti jadi istri mas selanjutnya. Tugas mas cuma berusaha dan berdoa, setelah itu pasrahkan pada Allah. Dia yang Maha Tahu. Paham kan makna surat Al Baqarah ayat 216?" 

"Alhamdulillah, paham pak." Jawabku singkat.

"Dari kecil, bapak ngajarin mas untuk bersikap ksatria, maka berjuanglah dengan cara ksatria yang terhormat. Jangan sekali-kali menjatuhkan kehormatan diri sendiri, apalagi menjatuhkan kehormatan orang lain. Gengsi itu perlu, asal tidak berlebihan. Jangan meninggikan sesuatu sampai merendahkan diri sendiri dan jangan merendahkan sesuatu karena ketinggian kita. Dan cara paling terhormat untuk mencintai perempuan ya dengan menikah, mas."

Aku masih terdiam. Meresapi tiap kata yang dilontarkan bapak.

"Mas udah punya pacar? Atau sudah ada perempuan yang lagi ditaksir?" tanya bapak tanpa tedeng aling-aling. 

Aku tersenyum tipis. Menggelengkan kepala. "Insha Allah aku nggak pacaran lagi pak. Lagi nggak deket sama siapa-siapa juga. Ada sih yang lagi aku taksir, tapi entahlah. Masih belum yakin itu cinta beneran atau cuma kekaguman sementara aja."

"Ah, segera pastikan perasaanmu mas. Salat istikharah sama tahajjud. Minta kemantapan hati. Kalau memang mantap dia orangnya, bilang bapak. Kalau ternyata bukan, bilang bapak juga. Nanti bapak kenalin ke anak teman bapak." Jawab bapak sambil menyeka keringat di dahinya yang keriput.

"Maksudnya?"

"Iya. Nanti mas bapak jod-"

Belum sempat bapak menyelesaikan kalimatnya, lamat-lamat terdengar suara ibu memanggil dari dalam rumah. Menawarkan pisang goreng dan teh hangat sebagai "upah" mencuci mobil pagi ini.













Hari Pendidikan

Dik, manusia bisa dikatakan sukses jika ia benar-benar menjadikan dirinya berguna buat orang lain. Tapi sekarang, tidak banyak orang yang mau melakukannya. Bukan karena ia tidak mampu atau tidak mau, tapi karena ia lupa. Ia lupa akan hal-hal yang menjadikannya manusia. Ia keblinger oleh harta benda, gelar, pangkat, popularitas, dan kalah oleh kemaluannya.

Dik, tujuan kita bersekolah itu biar menjadi pintar. Orang tua kita menyekolahkan kita setinggi-tingginya biar terhindar dari kebodohan dan ‘kemiskinan’. (Kata ‘miskin’ disitu artinya bukan tentang uang lho ya dik? tapi tentang mental.) Nah sekarang ini, orang berlomba-lomba masuk SD favorit, SMP unggulan, SMA kelas internasional biar selanjutnya punya peluang besar untuk masuk universitas yang berkelas. Universitas yang berkelas itu diharapkan bisa mengantarkan kita untuk dapat pekerjaan, jabatan, status sosial dengan penghasilan tinggi dan fasilitas mumpuni. Bisa dibilang, pendidikan sudah menjadi sebuah investasi.

Lalu apa yang manusia lupakan dik? Ilmu tentang kebijaksanaan. Sekarang pendidikan bukan lagi mencari ilmu untuk menjadi seseorang yang bijaksana dan menjadi sebenar-benar manusia. Orang lebih suka bicara hal yang 'realistis', yaitu Uang. “Nggak ada uang, nggak bisa makan!” katanya. Akhirnya, orang-orang yang kelaparan, kemiskinan, kesusahan, kemelaratan, nelayan, petani, dan buruh itu jadi dianggap tidak realistis. Karena tidak realistis, manusia berbondong-bondong tidak ada yang mau menjadi mereka.  Padahal, mereka itulah yang lebih dekat dengan kebijaksanaan. Coba dik, pernah dengar berita nelayan ditangkap KPK apa tidak? Atau petani yang terlibat kasus suap? Atau buruh yang jadi buronan interpol? Itu sedikit contoh bahwa ilmu tinggi dan kekayaan tidak berjalan lurus dengan kebijaksaan dan mental yang benar. 

Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mengingatkan, "Demi Allah bukanlah kemiskinan yang paling aku takutkan menimpa kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah dihamparkan kepada kalia kekayaan dunia, sebagaimana telah dihamparkan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba mendapatkannya hingga kalian binasa sebagaimana mereka binasa."

Ah, dik. Maafkan aku yang sok bijaksana ini. Masih sangat jauh langkahku untuk bisa jadi manusia seutuhnya. Tapi setidaknya aku sudah mengingatkanmu biar setinggi apapun impianmu, tidak membuatmu lupa siapa dirimu sebenarnya dan tidak membuatmu lupa nasib orang-orang disekitarmu. Selamat Hari Pendidikan, dik. Dari sekarang, belajarlah lewat media apapun dan jadilah manusia! OK? Sanggup? Kamu pasti bisa! I’m so proud of you.