Hari Ibu


Ndak usah diucapin di internet, nak. 
Ibu ndak perlu itu.
Lha wong Ibu saja ndak bisa pakai HP yang canggih-canggih.
Gimana Ibu mau membalas ucapanmu?

Kalau mau bahagiain Ibu mah gampang, nak.
Telfon saja Ibu waktu malam. 
Ceritakan ke Ibu apa yang kamu lakukan hari ini.
Begitu saja, Ibu sudah merasa senang.

Cepat lulus lalu pulanglah ke rumah, nak.
Adik sudah mulai sibuk kuliah.
Bapak masih kerja di luar kota.
Ibu sering sendirian.

Telfon Ibu, nak!
Pulanglah, nak!
Ibumu kangen.

(L.H.S.2015)



Kemana Perginya Jilbabmu?

Hey, kenapa kamu melihatku seperti itu? Teringat sesuatu ya, saat melihat jilbabku ini? Jilbab lebar dengan model yang (katanya) kuno. Yang kubiarkan ia terjulur, membalut tubuhku apa adanya, dengan warna biru tosca yang monoton dan sederhana. Jilbab yang kupakai ini, kainnya mulai kusut. Warnanya pun juga mulai pudar. Kalau kau ingin lihat lebih dekat, beberapa jahitannya juga sudah ada yang mbredel. Benar-benar kuno memang.

Eits, tunggu sebentar. By the way, aku masih ingat bagaimana jilbabmu yang lebih lecek daripada milikku, lho!

Iya, jilbabmu yang sudah lama kita incar dan akhirnya mampu kita beli menggunakan uang tabungan. Bukan, bukan yang hitam. Yang satunya, yang coklat tua. Yang dulu kita beli bersama di Mall di sebelah kampus. Naaaah, akhirnya kau mulai ingat sekarang. Iya, jilbabmu yang jahitannya juga mbredel di mana-mana itu. Sama, kan? Atau malah lebih parah?

Siang ini, sepulangnya aku dari ke kampus, aku melihat jilbabku ini benar-benar kasihan. Warnanya biru tosca sebenarnya. Tapi, tadi pagi aku tidak sengaja menumpahkan kopi dan membuatnya basah. Membuat warna sejuknya yang mulai pudar, sedikit kotor terkena noda hitam. Tapi, melihatnya demikian, aku justru teringat nasib jilbab coklat tuamu itu.

Kau tahu?
Dulu, sebelum kita masuk ke kelas, aku selalu ingin berlama-lama menghadap cermin di toilet untuk merapikan jilbabku yang terkadang berantakan. Aku juga senang saat kamu memintaku merapikan jilbabmu yang sama berantakannya, "Namanya juga belajar, lama-lama juga rapi." katamu menenangkan. Aku masih ingat kebiasaanmu yang meniup-niup bagian atas jilbabmu yang terus melorot karena sedikit kebesaran, atau saat kau menyeka rambutmu yang kadang sedikit terlihat keluar. Dulu, aku sering sebal ketika kamu memamerkan jilbab barumu kepadaku. Dulu aku juga selalu mempercepat langkahku saat memasuki mushalla setiap kali kulihat sepatumu sudah tertata rapi di depan pintu. Bahkan, kita pernah ditegur dosen karena berlarian di koridor hanya untuk berlomba menuju mushalla. Hehehe. Lucu ya? Dulu.

Ah, dulu aku tidak pernah menganggap itu sebagai kenakalanmu. Aku tidak melihatnya sebagai keburukanmu. Justru malah kesederhanaanmu. Kebanggaanmu untuk tunduk dalam kebaikan. Memang masih pemula, mau bagaimana lagi? "Namanya juga belajar, lama-lama juga rapi". Ucapanmu itu terus terngiang di telingaku.

Hm, aku jadi semakin ingat bagaimana kesederhanaanmu saat awal kita berkenalan dulu. Bukan hanya jilbab "kuno"mu itu, tapi juga pakaianmu, gaya hidupmu, tutur katamu, dan kepalamu yang selalu menunduk dengan senyum malu saat kakak tingkat yang sedang tertarik padamu, ketahuan sedang curi-curi pandang ke arahmu.

Hey, penampilanmu dulu anggun sekali! Kamu tidak pernah peduli orang melihatmu seperti apa. Tidak peduli orang berkata apa. Yang penting, itu kamu. Dan aku suka itu. Itulah alasanku mengawali obrolan denganmu. Itulah awal dimana kita saling menemukan dan menggali lebih dalam tentang siapa kamu dan siapa aku. Mengisi hari-hari dengan tumpah ruah cerita kita. Menemukan seseorang untuk berbagi semuanya. Itu semua hanya karena, aku melihat kesederhanaanmu.

Tapi, akhir-akhir ini aku tidak lagi melihatnya. Jilbabmu pergi entah kemana. Apalagi setelah kamu bertemu teman-teman baru yang mungkin lebih gaul daripada aku. Setiap kutanya, kau selalu mengelak. "Ah, cuma sekali ini saja, kok!" jawabmu ringan. Akhir-akhir ini juga kudengar kabar dari teman-teman tentang kedekatanmu dengan seseorang. Lelaki bermobil, mereka menyebutnya. Benarkah? Lalu mengapa kamu tidak menceritakannya kepadaku? Lalu mengapa kamu sampai berani melepas jilbabmu di tempat umum dan memamerkan rambut hitammu yang bergelombang indah itu? Apa kamu malu? Apa kamu merasa kuno dan kalah cantik daripada teman-temanmu? Atau malah, lelaki bermobil itu yang mengubahmu menjadi demikian?

Seperti aku merindukan jilbab lusuhmu itu, aku juga merindukan kesederhanaanmu. Seperti aku yang tidak pernah lagi melihat sepatumu terparkir rapi di depan pintu mushalla, aku tidak pernah lagi melihat keanggunanmu yang selalu kujatuhi rasa iri. Kita tidak lagi menyapa. Tidak lagi berbagi cerita. Tidak lagi saling mengenal.

Duniamu sudah berubah, teman. Namun, sebagai teman, aku berhak memberi tahumu, kan? Keputusan berjilbab bukan tentang cantik atau jelek. Gaul atau kuno. Ini tentang kebanggaan kita untuk tunduk pada kebaikan.

Selamat berproses dengan caramu, teman.
Aku akan tetap menunggumu, jika suatu hari nanti kau datang, entah kau ingin pamer jilbab baru atau dengan jilbab lusuhmu.

Jika Kita Menikah Nanti

Jika kita menikah nanti dan aku membiasakan pola hidup sederhana pada keluarga kecil kita, apakah kamu akan menutup mata dari mereka yang memiliki rumah yang lebih megah, kendaraan yang lebih mewah, dan harta yang lebih berlimpah daripada aku? Apakah kamu juga akan menutup telinga dari para istri yang menceritakan penghasilan suami mereka yang lebih besar dariku? Atau mengabarkan bahwa mereka dibelikan ini dan itu oleh suami mereka?

Jika kita menikah nanti dan penghasilanku hari itu ternyata pas-pasan, apakah kamu akan tetap memandangku dengan senyum manakala aku pulang membawa segenggam rezeki yang kuperoleh dari pekerjaanku? Berapapun nilainya, apakah kamu akan tetap merasa bahagia?

Jika kita menikah nanti dan aku mati-matian berusaha mencari rezeki di jalan Allah di tengah-tengah zaman yang semakin menggila ini, apakah kamu akan tetap bersyukur dan mendukungku? Apapun pekerjaanku? Berapapun penghasilanku? 

Ini susah, lho?
Aku tidak ingin kamu menikah denganku hanya semata-mata karena cinta.
Kamu harus paham konsekuensinya. Kamu harus siap dengan segudang permasalahannya.
Apakah kamu sudah memikirkannya matang-matang?

Bukan maksudku mengajakmu hidup susah.
Aku hanya ingin mempersiapkanmu untuk menjadi perempuan mandiri nan tangguh.
Yang tidak mudah menyerah saat dihimpit masalah, Yang tak mudah mengeluh saat rapuh.

Bukannya aku tidak ingin memanjakanmu dengan kasih sayang.
Aku harus memastikanmu hidup tenang di hari tua.
Menikmati umur yang sisa seberapa dengan canda tawa.

Bukannya segala maumu tak ingin kupenuhi.
Tapi diluar sana masih banyak manusia yang tidak lebih beruntung daripada kita.
Bagaimana aku bisa leluasa membelikanmu barang ini dan itu, tapi masih banyak orang yang bingung mau makan apa mereka hari itu? Tidak, tidak! Aku tidak mau kita hidup tanpa tanggung jawab sosial seperti itu!

Aku ingin menikahimu karena Tuhanku menyuruhku begitu. Menikah denganku tidak menjamin kamu hidup bahagia. Aku ingin mengajakmu ke dalam hutan penuh marabahaya yang penuh dengan ketidak pastian nasib. Aku ingin mengajakmu ke dalam belantara hidup yang penuh petualangan mendewasakan. Niatkan ibadah, dan apa kata orang tidak akan jadi masalah. Hidup sederhana, tapi bukan sederhana yang tidak bisa apa-apa.

Pada akhirnya, aku akan menantikan waktu-waktu dimana kita duduk bersebelahan di halaman rumah, memandangi mendung langit yang sedang mencurahkan rahmat-Nya, menikmati suara jangkrik dan katak bersautan, sambil ditemani secangkir teh manis hangat dan kue-kue lunak yang mudah kamu telan.

Silakan dipertimbangkan. Jangan lupa libatkan Tuhan.
Jika kamu mampu menjawab "Ya" dengan tabah terhadap seluruh pertanyaan dalam tulisanku ini, maka aku akan memperjuangkanmu.

Insha Allah..
Aamiin..

"Ngaca Dulu Dong!"

"Diri sendiri aja belum bener, udah sok suci ngingetin orang lain! Ngaca dulu dong! Urusin diri sendiri aja dulu!"

Akhir-akhir ini, ucapan seperti itu sering kita dengar di lingkungan pertemanan kita sehari-hari, baik secara langsung maupun lewat kolom-kolom komentar di media sosial. Dari komentar-komentar yang dilontarkan, kebanyakan dari mereka merasa apa yang mereka lakukan bukanlah urusan orang lain, sehingga mereka tidak berhak untuk mengingatkannya. Yang terakhir membuat geger adalah kasus seorang perempuan pelaku penginjak bunga amaryllis yang di-bully netizen karena berkomentar sejenis itu. 

Jujur, saya pribadi merasa risih jika ada seseorang yang berkata seperti itu.

Jadi seperti ini lho, mbak, mas.
Menurut saya, setiap manusia mempunyai kewajiban untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan.
Saya kira, setiap agama yang ada di muka bumi ini, tidak ada satupun yang mengajarkan penganutnya untuk berbuat buruk terhadap orang lain. Siapapun Tuhan yang kita sembah, tidak ada satupun yang mengajarkan hamba-Nya untuk berlomba-lomba dalam berbuat kerusakan.

Memang, setiap manusia sudah pasti tidak ada yang sempurna, suci, dan benar-benar luput dari dosa. Tapi bukan berarti kita, sebagai manusia, boleh membiarkan orang lain dalam berbuat dosa. Justru itulah nikmatnya. Orang lain menegur jika kita berbuat salah, dan kita mengingatkan orang lain jika mereka berbuat dosa. Bersama-sama saling bersinergi untuk berbuat lebih baik dalam mencari sebuah kebenaran hakiki. 

Namun bukan berarti kita bebas seenaknya sendiri menyalahkan orang lain. Kita sebaiknya lebih dulu "berkaca" pada diri sendiri, karena manusia memang gudangnya salah. Dan dalam penyampaian pesan untuk mengajak pada kebaikan, menurut saya, sebaiknya juga menggunakan cara yang baik-baik. Saya yakin, kita mampu untuk melakukannya. Jangan menyalahkan orang lain, hanya karena dosanya berbeda dengan kita. "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui." (QS. An-Nur:19)

Coba bayangkan jika semua orang di dunia saling acuh, tidak ingin mengingatkan orang lain atas kesalahannya karena hanya takut dicap "sok suci"? Bayangkan jika semua orang di dunia tidak ingin ditegur hanya karena itu bukanlah urusan orang lain? Saya khawatir, ucapan-ucapan seperti itu hanya akan menimbulkan generasi-generasi mati hati. Generasi-generasi anti kritik. Generasi-generasi apatis.

Dalam hal ini, karena saya seorang muslim, Insha Allah saya akan terus berpatokan pada konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Mengajak kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan). Dalam QS Al-Ashr (1-3) sendiri juga sudah disebutkan bahwa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan, serta saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran. 

Maaf jika ada yang tersinggung. Bukan maksud saya untuk menggurui dalam menulis ini. Saya hanya menyampaikan pendapat saya. Teman-teman boleh setuju, boleh juga tidak. Mengingatkan orang lain tidak harus dengan cara menjatuhkan harga dirinya di depan orang banyak, bukan? Cukup ingatkan lewat private message, Insha Allah hasilnya akan lebih terasa daripada mencecarnya di kolom komentar, karena itu adalah salah satu cara untuk menjaga aib orang lain.

Semoga kita semua mampu mengambil manfaatnya. Semoga kita tetap saling mengingatkan kesalahan dan mengajak orang lain pada kebenaran, apapun resikonya. Umat manusia membutuhkan kita semua untuk bersama-sama menuju pada kebaikan.



Mari berteman dan saling mengingatkan :)
Latif Hendra S.




Latif Muda Meninggal Dunia

Hari ini, roh telah meninggalkan jasadku.

Terbujur...
Kaku...
Biru...
Dingin...

Aku bahkan sama sekali tidak mampu membantu, mengurusi jenazahku sendiri.
Aku hanya mampu menonton. Tidak lebih!

Ibu,
Aku sempat bersedih saat menyaksikanmu.
Hanya air matamu yang benar-benar jatuh.
Hanya hatimu yang benar-benar rapuh.
Sebab selama ini, kita tidak pernah benar-benar terpisah jauh.

Bapak.
Aku senang, air mata tidak hujan lebat di matamu.
Namun aku yakin, mereka sedang terjun bebas dalam batinmu.
Ah, biar saja.
Lagipula, aku juga tidak membutuhkannya.
Cukup doakan aku saja sehabis shalat atau ngajimu.

Bapak, Ibu.
Tolong sampaikan ucapan terima kasihku yang paling tulus,
kepada saudara-saudara yang telah sudi memandikan jenazahku,
yang telah sudi mengkafani tubuhku.
yang telah sudi menshalatkanku.
Maaf, kali ini aku tidak bisa menyampaikannya sendiri.

Bapak,
Coba peluk Ibu.
Jangan biarkan ia terus menerus menangis.
Sesungguhnya aku hanya meninggalkan dunia, bukan surga.
Aku tidak pergi. Aku hanya kembali.
Ini sudah waktuku, Pak, Bu.
Mau bagaimana lagi?

Lagipula, yang mati hanyalah jasadku.
Aku masih hidup di kenangan kalian masing-masing,
dengan segala baik burukku.

Oh ya,
Jangan lupa beritahu kawan-kawanku,
Latif muda meninggal dunia.
Sampai disini pemanasanku, kawan.
Setelah ini aku akan benar-benar pergi berpetualang.
Sendirian.

Maaf, aku tetap saja merepotkan kalian.
Tidak hanya sewaktu hidup, tapi setelah meninggal pun masih saja.
Terima kasih semuanya.
Aku tunggu bait-bait doanya, ya?
Sampai jumpa.





Latif Hendra S.

Sajak Anak Kata

Aku, anak kata yang kehilangan bapaknya. Dibiarkan menunggu di halaman-halaman buku yang belum selesai ia tulis. "Aku kehabisan ide." katanya.

Bapak senang duduk merenung memandangi jendela. Jendela rumah sastra jauh lebih jujur dari pemandangan televisi. Televisi menyanyikan dusta, rumah sastra melagukan nestapa,

Jika hujan datang tiba-tiba, bapak lompat-lompat kegirangan. Aroma rumput setelah dibelai rintik air mengingatkannya pada Ibu. Apalagi jika ditambah wangi parfum ibu yang masih tertinggal di sweater bapak. "formula rindu." katanya.

Ibu meninggalkan bapak saat bapak sedang cinta-cintanya, karena ia tidak tahan dengan kebiasaan bapak. Pernah saat mereka bertengkar, aku mendengar bapak berkata, "Bagaimana kau menyuruhku untuk berhenti menulis, padahal tujuanku menulis adalah untuk mengkekalkan kau?" 

Bapak mengalah. Ia relakan ibu pergi. Tanpa sepengetahuan ibu, bapak menyelipkan doa-doa di sepatu ibu untuk menemani langkahnya. Sepatu itu, yang dibeli bapak dengan susah payah, sekarang digunakan ibu untuk berjalan menjauhinya.




"Tidak apa. Setidaknya aku masih memiliki kau, anak kata."

Diet Smartphone

Oleh: Latif Hendra S.*


Sudah beberapa hari ini aku menon aktifkan beberapa media sosial yang aku punya. Banyak sekali orang yang bertanya kenapa aku memutuskan untuk melakukannya. Ada yang mendukung, ada pula yang menyayangkannya. Ada pula yang mencemooh bahwa aku hanya ingin dicari, hanya ingin cari perhatian, pencitraan, omong doang, lebay, dll.

Jadi, dalam tulisan ini, aku ingin memberikan alasannya. Semoga bermanfaat.


***

Aku mempunyai banyak sekali teman di media sosial, tapi aku kesepian. Ya, aku kesepian. 
Hampir setiap hari aku berkomunikasi dengan mereka di media sosial. Kami mengobrol ringan, berbagi foto atau kegiatan yang sedang dikerjakan. Sedapat mungkin aku selalu keep in touch dengan teman-temanku walau hanya sekedar memberi komentar, atau memberi like pada posting-an mereka.

Sampai suatu hari, aku berpikir bahwa sesungguhnya pertemuan yang baik adalah pertemuan yang melihat mata, mendengar kata, dan memahami makna. Selalu ada perasaan yang berbeda ketika menatap langsung mata lawan bicara dibandingkan dengan melihat nama orang yang tertera di layar, beserta gambar dirinya yang terbaik sebagai foto profil.

Kemudian, aku mencoba membuka mata dan melihat keadaan di sekelilingku. Tidak dapat dipungkiri lagi, kita tidak akan bisa lepas 100% dari media sosial. Tapi pernahkah kita berpikir, ketika kita mulai membuka gadget untuk melihat dunia, sebenarnya kita sedang menutup pintu dunia kita yang lain? Semua tatanan yang tercipta dari teknologi canggih ini hanyalah sebuah ilusi; pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, kebersamaan. Semuanya!

Awal aku melakukan program diet smartphone ini, aku melihat dunia yang sangat membingungkan. Kita seakan diperbudak oleh teknologi yang kita ciptakan sendiri. Dunia dipenuhi dengan pencitraan, promosi diri, dan kepentingan pribadi yang menimbulkan sikap apatisme terhadap orang lain. Kita menjadi generasi yang haus akan pengakuan. Saling menjatuhkan satu sama lain lewat debat-debat di dunia maya, memaksakan diri untuk mengikuti trend yang sedang hits dan kekinian, memasang foto selfie, memamerkan ketampanan dan kecantikan untuk berlomba-lomba mendapatkan likes dan pujian: “cantik kak”, “followback kak”. Bah! Bahkan ada selentingan iseng yang muncul bahwa standard hits atau tidaknya seseorang, ditentukan oleh adanya iklan-iklan online shop di akun media sosial mereka. Dunia macam apa ini? Kita terlalu sibuk membanggakan diri sendiri dan mengharapkan pujian orang lain, sampai tidak sadar bahwa kita sedang terasing di kehidupan sosial.

Ada kalanya pula kita sedemikian rupa merangkai kata hingga terlihat bahwa hidup kita indah dan baik-baik saja. Mencomot quote-quote dari tokoh ini dan itu yang membenarkan hati kita bicara walau terkadang kita sendiri tidak pernah tahu siapa tokoh yang ucapannya kita kutip itu sebenarnya. Mengikuti pemikiran-pemikiran official account galau dan egois yang melemahkan mental. Menceritakan permasalahan-permasalahan hidup kita yang sepele ke lini masa, sampai kita lupa bertanya, “Apakah orang lain peduli?”

Belum lagi permasalahan saling judge satu sama lain. Omongan di media sosial lebih dianggap serius daripada di dunia nyata. Kebenaran menjadi abu-abu karena kita bebas membentuk citra diri. Kita senang mencari teman baru, padahal mereka tidak sepeunhnya mengenal kita  dan kita juga tidak sepenuhnya mengenal mereka. Munculah stigma-stigma dan anggapan miring akibat ekspektasi yang melenceng dari seseorang tentang diri kita.

Aku merindukan masa-masa dimana aku mendatangi teman-temanku atau mereka mendatangiku. Kita berteman tanpa punya kepentingan. Lalu kita merasa menjadi manusia yang paling tampan dan bahagia ketika saling berbagi pengalaman. Saling menyediakan sepasang telinga yang utuh dan jiwa yang penuh terhadap apa yang diceritakan oleh lawan bicara, sekonyol apapun cerita itu. Tidak mudah terdistraksi oleh “teman-teman lain” di luar sana. Menceritakan pengalaman saat liburan dengan mata berapi-api dan menunjukkan foto-foto yang sudah tersusun rapi dalam album yang mampu membawa para pendengarnya seakan masuk dan ikut dalam perjalanan tersebut. Aku pikir itu lebih menyenangkan daripada mengetahui cerita teman kita lewat postingan-postingan yang mereka unggah di Path. Aku merindukan sensasi rasa ingin tahu dan penasaran yang nyata. Aku lebih memilih tidak tahu lalu mencari tahu daripada sudah tahu tapi bersikap tidak mau tahu.

Saat aku kecil, dapat dikatakan aku jarang ada di rumah. Selalu bersepeda bersama teman-teman mengitari kompleks perumahan. Kadang aku terjatuh, tangan lecet-lecet, kulit kaki mengelupas, kemudian menangis. Tapi anehnya, aku tetap mengulanginya. Luka tidak bisa merebut kebahagiaanku. Imajinasi bebas mengalir tanpa takut anggapan-anggapan aneh dari orang lain. Tawa seakan tak pernah lepas dari sudut bibir mungilku. Satu-satunya hal yang bisa menghentikanku adalah teriakan Ibu menyuruhku pulang untuk mandi dan pergi shalat maghrib ke masjid.

Sekarang, taman-taman bermain sepi. Tidak ada anak-anak yang berlarian sambil berkejar-kejaran, meloncat, berteriak, dan menangis karena terjatuh. Ayunan tidak lagi terayun. Tidak lagi tergambar kotak-kotak permainan engklek di tanah pekarangan. Tidak ada lagi raut muka anak-anak kecil mengintip kecil, menahan tawa, saat bermain petak umpet. Sudah jarang ditemui anak-anak menghabiskan sorenya dengan kebahagiaan-kebahagiaan remeh, receh. Mungkin seperti hal yang mustahil bagi orang tua sekarang untuk dapat menghibur putra-putrinya tanpa menggunakan gadget canggih berisi ratusan permainan-permainan seru tapi menyedihkan, menyendirikan.

Pada satu waktu, aku juga merasa sedih ketika saudara sepupuku yang masih duduk di bangku SD, lebih asyik bermain gadget-nya daripada bermain dengan saudara-saudara lain yang notabene jarang bertemu jika tidak Idul Fitri. Puncaknya, adalah pada saat aku diantarkan keluargaku ke stasiun untuk kembali ke kota perantauan. Alih-alih menghabiskan waktu untuk saling berbicara, mereka asyik dengan smartphone-nya. Mereka lebih memilih berbicara dengan teman-temannya di grup WhatsApp daripada dengan anaknya yang sebentar lagi meninggalkan mereka!

Lain waktu, aku tidak tahan ketika melihat keheningan dalam mobil yang penuh sesak ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama teman-temanku. Masing-masing asyik dengan dunianya sendiri. Di ruang tunggu stasiun, di kafe, di depan ruang dosen saat menanti jadwal bimbingan, tidak seorangpun mengajak bicara orang di dekatnya karena takut dibilang aneh. Kita duduk berdekatan, tapi hati kita jauh. Hampir semua kepala tertunduk, memanjatkan doa ke hadirat smartphone yang Maha Kuasa. Mengutip perkataan salah seorang temanku, “Kita ini adalah generasi-generasi idiot. Manusia bodoh membawa gadget canggih. Dumb people with smart phone.”

Kita menjadi anti sosial, tidak lagi terpuaskan dengan hubungan interpersonal yang saling bertatap mata. Aku takut anak-anakku, anak-anak kita, kelak dilahirkan dan dibesarkan dengan melihat kita hidup layaknya sebuah robot (lebih parah lagi jika mereka menganggap itu sebagai hal yang normal.)

Sendirian bukanlah masalah, teman. Itulah intinya. Jika kamu berani jujur pada diri sendiri untuk melakukan apa yang memang kamu sukai, kamu tidak pernah sendirian. Kamu akan produktif dan tetap diakui secara nyata. Kamu akan sepenuhnya sadar dan memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya. Jika kamu sedang berada di tempat umum dan merasa kesepian, jauhkan tanganmu dari gadget-mu, tengoklah ke kanan dan kirimu, ajaklah bicara manusia-manusia di sebelahmu. Belajarlah hidup bersama, mulai dari hal yang sederhana.

Aku tidak mengatakan dapat lepas 100% dari smartphone. Aku masih membutuhkan informasi dari luar. Aku hanya ingin belajar lebih menghargai orang di sekitarku karena aku sedang merasa kehilangan aku di dunia nyata, dan aku ingin mencarinya, menjemputnya.

Aku tidak ingin memaksa siapapun yang membaca tulisanku ini untuk mengikuti langkahku. Perubahan datang dari diri sendiri. Sekarang aku ingin mencoba mengalihkan perhatian dari smartphone-ku; mematikan layarnya, mensenyapkan suaranya, lalu mulai menghidupkan lingkungan di sekitarku, memberi makna bagi orang-orang di dekatku. Aku ingin memulai hubungan yang nyata, untuk menunjukkan perbedaan yang diciptakan oleh sebuah kehadiran. Itu saja.

***

Sementara waktu ini, jika teman-teman membutuhkanku, silakan kontak ke:
- WhatsApp : 0838 663 17269
- SMS/Call   : 0812 325 79569
- Email        : latifhendra.s@gmail.com

Untuk beberapa aplikasi seperti instagram (@latifhendra) dan blog (latifhendra.blogspot.com), masih aku gunakan untuk berkarya.



Sampai jumpa di dunia nyata!



*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya..
Mantan Redaktur Pelaksana Majalah LPM Perspektif FISIP UB.
Mantan Manajer Audio-Visual Indonesian Future Leader Chapter Malang.


Reuni

Matahari senja mulai duduk di singgasananya. Hawa dingin seakan menggerayangi tubuh. Rintik hujan melengkapi teduhnya pertemuan kita sore ini. Setelah sepuluh tahun kita lulus dan meninggalkan kota ini, hari ini kita dipertemukan kembali oleh-Nya di tempat yang mungkin tidak pernah kita duga.

Aku bisa membaca rasa cinta yang masih terpancar dari sorot mata kita. Namun kali ini situasinya berbeda. Kau bersama suamimu, aku membawa istriku.

"Kamu ingat kafe ini, Ka?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.

Kepalamu tertunduk, kemudian mengangguk perlahan, dan tersenyum. Senyum yang sama saat pertama kali kita duduk berdua di kafe ini, di bangku ini.

"Kamu mau pesan apa?" Tanyamu.
"Teh tarik hangat saja, tanpa gula."
"Tumben tidak pakai gula? Dulu kamu selalu minta tambah gula?"
"Ah, itu kan dulu. Sekarang tidak saja." Jawabku.

Kika, Kika. Seandainya kamu tahu, betapa ingatan tentangmu akan selalu terasa manis meski aku tidak menambahkan gula ke dalamnya. Sepuluh tahun yang lalu, di kafe ini, ingatlah bahwa ada seorang lelaki yang sedang merasa bahagia dalam kikuk jumpa pertamanya denganmu; aku.

SYARAT MENJADI ISTRIKU

kalau besok aku udah kerja, aku mau punya istri satu aja. tapi harus yang solehah, cakep, dan terpandang sekalian. biar istriku ini tahu malu dan nggak berusaha biar kelihatan cakep, terus nuntut dibeliin ini itu biar dipandang orang.

aku nggak mau korupsi gara gara istri. aku nggak mau selingkuh dengan alasan perempuan lain menerima aku secara penuh.

sambil nunggu, aku juga harus nyiapin diriku dulu. biar besok istriku yang mendekati sempurna itu nggak malu punya suami kaya aku. 

adil kan?

Kesendirian

saat aku sendirian, aku merasa lebih manusia dari manusia pada umumnya. seketika, aku mampu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. terus mencari makna besar, yang tersimpan rapat di balik hal-hal kecil yang sering luput dari kepekaan panca indera.

puisi, lagu, buku. ratusan kata-kata aku muntahkan disana. ribuan ingatan tentangmu aku bakar hangus-hangus dalam tungku api semesta yang disebut manusia sebagai doa.

tentang luka? bagiku itu pintu surga. terbiasa sendirian ditengah keramaian membuatku berpikir, kira-kira, berapa banyak danau yang bisa terbentuk dari air mata manusia-manusia itu? air mata yang terpaksa mampat, sengaja disumbat oleh topeng-topeng gengsi. 

sering aku tertawa sendirian. padahal tidak ada kau.

PULANG

rupa kota ini sudah banyak yang berubah, tapi disetiap sudutnya masih bisa aku lihat sekelebat wajahmu.

jalanan kota ini sudah banyak yang diperbaiki, tapi ingatanku masih menemukan geronjal ketika melewati rute mengantarmu pulang dahulu.

pohon-pohon boleh ditebangi, gedung-gedung boleh dibangun sedemikian tinggi, tapi tidak ada yang boleh melarangku mendatangi sederhana desa di tengah riuhnya kota; senyumanmu.

aku tidak berjanji untuk selalu pulang tepat waktu. tapi sayangku, aku akan selalu pulang dalam keadaan mencintaimu.

Jujur



kalau ingin dia jujur, jangan tuntut dia untuk berjanji. tidak usah berjanji agar dia tidak perlu berbohong.

kalau ingin dia jujur, jangan diikat. biarkan dia bebas untuk melakukan apa yang ia mau. dia akan jujur karena kesadaran, bukan paksaan.

kalau ingin dia jujur, jangan mencoba mengubah dirinya. biarkan dia apa adanya, semaunya. saat ia merasa diterima seluruhnya, dia akan jujur, ingin selalu dekat, dan menjadikan dirinya yang terbaik untukmu.

kalau ingin dia jujur, jangan sekalipun menghakimi. cukup nikmati tingkah lakunya. tidak perlu sakit hati jika kelakuannya tidak sesuai inginmu. tidak perlu juga untuk berusaha membuat dia suka padamu.

berikan ia cinta tanpa kondisi, sebatas kemampuanmu. jika saatnya pergi, pergi. jika saatnya bertemu, bertemu.

saat dia merasakan ketulusan, dia yang akan pergi mencarimu.

SENDIRI



suatu saat nanti, kita akan menyadari jika sendiri itu tidak menyenangkan.

kita akan membutuhkan seseorang untuk menemani kita. ketika sakit ada yang merawat, ketika hujan ada yang menemani bicara.

manusia memang diciptakan berpasang-pasangan, pertahankan ia yang datang dengan sejuta ketulusannya. tinggalkan ia yang tidak bisa menerima kekuranganmu.

perjuangkan ia yang tidak mengingkari janjinya pada Allah untuk tidak mengecewakanmu, tidak mengasarimu walau dengan satu tarikan tangan sekalipun, dan tidak pernah dengan sengaja melukaimu dengan dustanya.

dengannya, bangunlah rumah tangga yang sakinah.

saat itu, yang kamu rasakan hanya cinta. tanpa gengsi, tanpa emosi, tanpa asumsi jika akan dikhianati. tentram dan damai penuh kasih sayang bersamanya.

sampai suatu hari nanti, waktu akan mempertemukan kalian pada kehidupan surga.

lalu kalian akan bertemu kembali seperti dua remaja yang bertemu tanpa perencanaan. adakah yang lebih mendebarkan dari pertemuan yang tidak disengaja? Allah memang pandai membuat salah tingkah makhluknya. indah bukan?

jangan biarkan dirimu sendirian. sekarang, jagalah iman karena-Nya. karena berdua itu lebih menyenangkan.

sebut satu nama yang kamu harap akan menemanimu selamanya, pejamkan mata, mulai doakan dia.

Sebelum Aku Berhenti Mencintaimu



aku tahu, kadang-kadang hidup itu tidak adil menurut kita. tapi Allah selalu punya rencana-Nya sendiri dan betapa Allah selalu bersikap adil kepada manusia.

aku berencana mencintaimu. menjaga bahagiamu. tapi menurut Allah, aku lebih baik mencari jalan yang berbeda. mungkin menurut Allah, kita berdua bisa jadi akan menjadi dua orang yang paling berbahagia jika bersama. karena itulah Allah memutuskan untuk membagi kebahagiaan kita kepada orang lain secara adil, dengan cara tidak menjadikan kita bersama.

itu pikiran positifku. benar atau tidaknya, aku lebih suka berpikir seperti itu.

yang harus kamu ingat hanyalah, sebelum aku tak lagi mencintaimu, kamu pernah menjadi bagian paling menyenangkan dalam ceritaku.

sebuah cerita selalu memiliki akhir, bukan?

Buat Apa?

aku suka menulis, walau sering dibilang omong doang, tidak ada aksi. karena ketika mataku hanya mampu menatap, pemikiranku harus bisa abadi menetap. (suatu hari, aku harap kau mau membaca tulisan-tulisanku.)


aku suka baca buku, walau sering dianggap culun. karena aku sadar wajahku pas-pasan. jadi bahan obrolanku denganmu tidak boleh pas-pasan. (suatu hari, aku harap kau mau membaca dan mendiskusikan buku-bukuku.)


aku memang belum lulus kuliah. karena 'kebelum-lulusanku' membuatku memiliki lebih banyak waktu untuk menempa diri, demi membantuku saat 'kesudah-lulusanku.'


aku hidup di dunia tidak untuk membuat orang lain terkesan. kamu tidak perlu setuju dengan apa yang aku lakukan. kamu hanya perlu jujur tentang apa yang ingin kamu lakukan. buat apa merendahkan harga diri untuk mengikuti arus omongan orang lain?


sabar bukan berarti terus diam dan menumpuk amarah di hatimu. sabar adalah berani mengungkapkan apa yang membuatmu terganggu tanpa harus kehilangan kontrol atas emosimu.


ayo mulai jujur dengan diri sendiri :)


Cinta? Halah!

Suatu hari aku pernah bertanya kepada bapak tentang arti dari kata cinta. Entahlah, aku tidak percaya kata orang lain, apalagi kata televisi. Melemahkan!

Kata bapak, cara laki-laki sejati untuk mencintai itu mendekati, menikahi, lalu menafkahi. Bukan memacari, menikmati, lalu pergi. Baiklah. Masuk akal. Tapi aku belum puas. Aku coba tanya ke Ibu tentang arti cinta menurut perspektifnya.

Kata Ibuku, cara laki-laki mencintai itu dengan tidak boleh sering berkata “terserah” pada pasangannya. Calon pemimpin ruma tangga harus bisa mengambil keputusan. Baiklah. Masuk akal. Tapi aku masih belum puas. Aku coba tanya ke adik perempuanku. Entahlah, selalu menyenangkan bermain di pikiran anak kecil.

Kata adikku, “kamu tidak bisa seenaknya menyembuhkan hatimu dengan menyakiti milik orang lain!” “Ah sialan!” umpatku. Adikku termakan doktrin televisi. Baiklah, jelas kali ini aku masih belum puas. Aku coba tanya pada diriku sendiri, lalu aku mulai membayangkan, suatu pagi nanti, aku dan kamu akan berbagi telur dadar, dengan hati yang berdebar, dan cinta yang berpendar. Sederhana sekali bukan?

Aku tertawa kecil, adikku berteriak, “Orang gila! Orang gila! Orang gila!” kepadaku.

“Cintai agamamu, dan kau akan menemukan cara mencintai seseorang dengan tepat.” Tiba-tiba sebuah suara menyambar. “Allah mengerti doa-doa kita, bahkan saat kita tidak menemukan kata untuk mengatakannya,” tambahnya. Aku tersenyum kecut, tapi bahagia. Aku rasa aku telah menemukan jawabannya.

Tiba-tiba aku terbangun, tersadar. “Jancuk! Besok sudah hari senin!”

Laptop masih menyala, buku-buku masih berserakan. Revisi skripsi belum aku kerjakan.

Tentang Dikecewakan


"mengapa manusia suka mempertahankan hubungan yang jelas-jelas tidak membuat mereka bahagia?" aku hanya bisa mengajukan pertanyaan itu dalam hati.


aku muak dengan hubungan yang penuh kepentingan.


cinta macam apa yang mengekang kebebasan? cinta macam apa yang memposisikan 'aku' lebih tinggi daripada 'kamu'? 


sudahlah.


kamu baik hati, juga cantik. laki-laki datang dan pergi dalam kehidupanmu. bagimu, perpisahan selalu merupakan kata lain untuk perjumpaan baru.


aku tidak bisa menangis, meski sejujurnya sangat bersedih. terima kasih untuk semua cerita tentang kita.


mungkin kau senang untuk diperjuangkan. tapi mungkin kau tidak merasakan lelahnya memperjuangkan.


aku hanya takut kau terlalu senang berlari, sampai lupa bahwa aku sudah berhenti jauh-jauh hari.

Tentang Karma



tentang 'karma', jujur saya tidak terlalu peduli hal itu karena saya berfokus pada memberikan cinta. bukan membalas 'karma'


entah ada atau tidaknya dan bagaimana mekanismenya, 'karma' kerap dijadikan alasan orang-orang yang sakit hati untuk menghibur diri.


mereka sering menggunakan 'karma' untuk menyalahkan orang lain atas rasa sakit hati yang kadang mereka buat-buat sendiri, sampai lupa mungkin apa yang mereka rasakan sekarang adalah buah akibat perbuatan mereka dulu.


benar atau salah, menurut saya, yang terpenting adalah tindakan kita. bukan mengharapkan balas dengan mengutuk orang (yang menurut kita salah) menggunakan 'karma'


dan jika memang 'karma' benar ada, bukankah lebih baik jika kita fokus kepada cara terbaik memberi cinta, agar 'karma' berikan cinta itu kembali pada kita?


daripada meninggikan suara untuk saling menyalahkan, lebih baik merendahkan hati untuk saling mendengarkan bukan?

Santai Saja


jangan terlalu memikirkan hal yang tak perlu kau pikirkan. aku telah memantapkan diri untuk memilihmu. itu cukup. 

biarkan aku bebas. karena aku ingin berjalan seiring. bukan digiring. biarkan aku mencintaimu dengan caraku.


silakan kau bercerita kepada semua orang bahwa kau baik-baik saja. tapi tidak denganku, kau tak perlu berpura-pura. kau tetap bebas menjadi dirimu sendiri.


dan menunggu bukan berarti hanya diam kan?

Tenang Saja



jika karena kekritisan kau dijauhi, bersyukurlah karena dijauhkan dari orang-orang bebal. 

tidak usah takut diremehkan atau dikucilkan.


diremehkan orang itu enak. kita bisa lihat kekagetannya saat tahu hanya kita yang mampu menolong kesusahannya.


cobalah sesekali keluarlah dari bingkaimu. niscaya pose hidupmu tidak itu-itu melulu.



Inti


merasa dicintai sebegitunya, kadang sering membuat kita berlaku seenaknya saja. lupa kalau ia bisa pergi kapan saja.


semoga kita tidak menyepelekan kesederhanaan. sebab ia tak sesepele dan sesederhana yang kita kira. (dan semoga kita senantiasa sederhana tanpa ada kecenderungan untuk menyederhanakan banyak hal)


karena pada akhirnya, hidup hanya tentang seberapa mampu kita membawa banyak orang datang di hari pemakaman kita nanti.

Semoga


semoga kita tidak meninggikan sesuatu sampai merendahkan diri sendiri, dan tidak merendahkan sesuatu karena ketinggian kita.


karena orang yang biasanya mudah membuatku kagum adalah orang yang mengagumkan tapi tak sadar bahwa ia pantas dikagumi.

Klarifikasi


salah jika kamu berpikir aku pergi karena tidak menyukaimu. karena aku benar-benar menyukaimu, maka aku memilih mundur.


salah jika kamu berpikir aku mundur karena tidak serius denganmu. karena aku benar-benar serius ingin bersamamu, aku memilih mendoakanmu selagi belum mampu menjadi mahrammu.


salah jika kamu berpikir doa saja tak cukup untuk kita bersatu. kau tahu? dengan doa, apa yang sulit menjadi mudah, yang berat menjadi ringan, dan yang tak mungkin menjadi mungkin.


mungkin saat ini kau kecewa karena aku lebih memilih menjauh darimu dan mendekat dengan-Nya.


dan mungkin kau berpikir aku hanya main-main; datang didepanmu menghadirkan rasa rindu dan cinta, lalu seketika pergi tanpa ada rasa duka.


bukan inginku menjadikanmu resah dan kecewa. tapi aku lebih resah bila takdir-Nya tidak berpihak pada kita.


mungkin dengan menjauh, segalanya menjadi terasa dekat. dalam doa.


dan percayalah, doa mampu mengubah segala yang tak mungkin menjadi mungkin.


maka, bersabarlah dalam doa.

Ada Banyak Cara Untuk Mengatakan Cinta

ada banyak cara untuk mengatakan cinta. yang kau butuhkan hanya mendengarkan lebih seksama.

cinta tidak melulu datang melalui seikat bunga. bisa jadi lewat lirikan matanya saat kau sedang tidak memperhatikannya.

cinta tidak melulu datang melalui umbar kata-kata mesra. bisa jadi lewat diam atau marah tidak jelasnya.

cinta tidak melulu datang lewat nikmatnya masakan restaurant bintang lima, dan diiringi lagu klasik. bisa jadi lewat hangatnya suasana angkringan pinggir jalan, ditemani petik gitar pengamen yang asyik.

cinta tidak melulu datang lewat sejuk dan nyamannya AC di mobil. bisa jadi lewat sensasi bermotor saat keringat menetes, atau tubuh menggigil.

cinta tidak melulu datang lewat banyaknya harta atau barang yang kau berikan padanya. bisa jadi lewat tawa atas lelucon konyolnya atau waktu yang kau habiskan bersama.

yang paling penting, sayang.
cinta tidak datang lewat dunia yang seperti milik kita berdua. percuma!

cinta kita berdua tak bermakna jika tak menjalarkan cinta pada sesama.

sayang,
ada banyak cara untuk mengatakan cinta. yang kau butuhkan hanya mendengarkan lebih seksama.

dan aku mencintaimu dengan caraku.





Malang, 10 Agustus 2015.
dalam doa,



Latifhendra.

Kabut

latifhendra


bukan karena kabut yang menutupi matahari, yang membuatku bersedih, Annisaa. 
tapi wajahmu yang kecewa dibuatnya.


bukan karena curamnya jalan setapak ke puncak gunung, yang membuatku letih, Annisaa.
tapi keluhmu yang kadang terucap karenanya.


bukan karena dingin menusuk tulang, yang membuatku beku, Annisaa.
tapi gemeretak gigimu yang terdengar jelas sebabnya.


Annisaa, kita bisa belajar banyak ilmu kehidupan dari mendaki gunung. bahwa yang terpenting dari hidup adalah proses perjalanannya. sampai di puncak hanyalah hadiah-Nya. 

Annisaa, sama seperti hidup, mendaki gunung tidak bicara tentang menaklukkan alam. tapi bagaimana kita menaklukkan diri sendiri.






Malang, 8 Agustus 2015

Musisi Bukan Perayu



suaramu memang kurang begitu merdu, tapi selalu kau usahakan agar nyaman untuk kudengarkan.

permainan gitarku memang kurang mahir, tapi selalu kuusahakan agar selalu dapat menghiburmu.

kita memang tidak sempurna. tapi dengan percaya dirinya, berusaha saling melengkapi, dengan cara-cara sederhana.

sesederhana mencoba membentuk rangkaian nada untuk kita nyanyikan bersama.

dan seperti biasa, kau selalu mencoba untuk mengambil suara dua, satu nada lebih tinggi dari suaraku.

kau tahu? terkadang itu yang membuatmu lucu...




                          Malang, 5 Agustus 2015

Kutipan #2

di luar sana, entah di mana, jodohku menghabiskan waktunya dengan seorang lain yang dia kira jodohnya.




-Aan Mansyur-

Annisaa


Berikan tanganmu, Annisaa.
aku terlalu lama mensia-siakanmu,
telah aku tambatkan dendam,
pada terbit siang hingga gugur jadi malam.

aku datang padamu seperti bocah,
yang takut erang semalam,
yang cemas menanti esok,
yang gugup akan kehilangan.

Terasa lama sungguh membikin cinta, Annisaa.
Lemas aku berlimpahkan rindu,
Hilang aku berlarutkan tanya,
Tenggelam aku dalam mengenang.

Annisaa, engkaulah yang mematahkan
gelodar-gelodar muda,
jauh sekali kerakusan dan berlupa-lupa
dalam mengenal kekosongan di usia muda.

kini tibanya waktu,
berikan tanganmu, Annisaa.
ingin aku kucup-cium,
sebelum esok hari kering membatu.

(sebuah saduran dari puisi “A Pact”. Oleh Ezra Pound, 1913)

Bertemu

Adakah yang lebih membuat hati berdesir selain pertemuan yang tidak disengaja?

Kutipan #1

"Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta."

Darwis Tere Liye - Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Suatu Hari, Kamu Pernah Bertanya Padaku...

Suatu hari, kamu pernah bertanya padaku:

"mas, bagaimana laku kita nanti, jika kita sudah tak saling cinta lagi?"

"mas, bagaimana nasib cinta nanti, jika kepedulian satu sama lain sudah mati rasa?"

"mas, bagaimana nasib doa - doa nanti, jika cemas tak lagi mau membahasakan kita?"

Buku Kosong




ini hanya buku kosong, Annisaa.
isilah dengan pemikiran-pemikiranmu.

buku ini benda mati, Annisaa.
hidupkan dengan rencana-rencanamu.

buku ini ringan, Annisaa.
beratkan dengan mimpi-mimpimu.

buku ini kubiarkan berantakan, Annisaa.
tolong rapikan dengan doa-doamu.


Malang, 20 Februari 2015


Latif Hendra S.