Kenikmatan yang Terlupakan

Dik, besar kecilnya nikmat yang diberikan Tuhan, memang sudah sepatutnya kita syukuri. Namun akan lebih baik jika kita lebih banyak bersyukur dan berterima kasih kepada hal-hal kecil deh? Kepada cottonbud, tusuk gigi, masker, penjual bensin eceran, tukang tambal ban, WC umum, warung burjo, dan hal-hal kecil lainnya yang keberadaannya seringkali disepelekan manusia. Bersyukurlah, karena keberadaan mereka seakan menggenapi hari-hari kita yang selalu terburu-buru. Bersyukurlah, karena keberadaan mereka mengingatkan kita bahwa kenikmatan dunia tidak selalu tentang banyaknya uang, pujian orang, dan pasangan yang selalu bergonta-ganti.

Coba sesekali rasakan kenikmatan-kenikmatan yang Tuhan titipkan pada mereka. Rasakan kenikmatan luar biasa yang muncul saat kamu mengorek kuping dengan cottonbud. Rasakan perasaan puas yang datang saat kamu berhasil membersihkan bekas sambal yang nyelilit di gigimu dengan tusuk gigi. Rasakan hangat nafasmu di dalam masker yang melindungimu dari asap hitam knalpot bus. Rasakan heroisme yang muncul dari sosok bapak penjual bensin eceran dan tambal ban, sehingga kamu tidak jadi datang terlambat ke kantor dengan bau badan menyengat karena menuntun sepeda motor terlalu jauh. Rasakan perutmu yang lega dan terasa ringan saat kamu akhirnya bisa buang air di WC umum, setelah sebelumnya berkeringat menahan berak ditengah kemacetan selama berjam-jam. Rasakan pula ketulusan hati dari mas-mas warung burjo yang rela bangkit dari kantuknya dan dengan ikhlas membuatkanmu semangkuk mie instan saat kamu kelaparan tengah malam dan keuanganmu sedang menipis.

Tuh dik, Tuhan memang sangat all out dalam menyayangi hambanya. Kasih sayang-Nya meliputi segalanya, bahkan sampai ke tempat-tempat yang sering kita anggap kotor dan menjijikkan. Tuhan juga menitipkan kasih sayang-Nya lewat tangan orang-orang yang seringkali termarjinalkan dalam kehidupan sosial. Itu kenapa Tuhan menyuruh kita untuk juga ikut all out dalam bersyukur.  Bukan untuk-Nya, tapi untuk diri kita sendiri. Coba kamu hitung berapa nikmat Tuhan yang kamu rasakan hari ini, mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Masih adakah celah untuk sombong?

Belajar Cinta dari Berboncengan

Dik, kalau aku lagi nyetir motor dan kamu yang aku bonceng, kira-kira kamu bakal diem aja atau ikut-ikutan menentukan arah? Misalnya kaya, "Awas mas! Ngerem mas! Jangan terlalu tengah mas!" dan seterusnya. Kira-kira kalau sepanjang perjalanan kamu bicara seperti itu terus, mengganggu tidak? Buatmu mungkin tidak, tapi buatku itu sangat mengganggu.

Dik, kan kita sudah punya tujuan sebelum memutuskan bahwa kamu yang membonceng dan aku yang menyetir? Itu kan juga sudah menjadi kesepakatan kita berdua kalau aku menjadi supirnya dan kamu menjadi penumpangnya. Tugas supir adalah berkendara dengan hati-hati, memperhatikan jalan dan segala peraturannya. Tugas penumpang adalah percaya sama supir sambil berdoa dalam hati biar semua selamat sampai tujuan. Kira-kira begitulah idealnya hubungan antara supir dan penumpang, dik. Supaya apa? Supaya sama-sama enak, nggak berantem di jalan, dan nggak kecelakaan. Boleh saling mengingatkan, asal tidak sampai berlebihan.

Nah dik, hubungan laki-laki dan perempuan juga sama seperti itu. Ada yang jadi imam, ada yang jadi makmum. Tujuannya apa? Biar hubungan berjalan seimbang. Bukan untuk membatasi kebebasan satu sama lain. Mentang-mentang laki-laki itu imam, lantas bisa seenaknya sendiri. Itu namanya egois. Nggak bener. Terus mentang-mentang perempuan itu jadi makmum, lalu minta ini-itu dan susah dibimbing. Sama saja. Imam dan makmum itu satu kesatuan, dik. Sebuah mekanisme kerja yang sudah Tuhan ajarkan dari dulu biar manusia bisa hidup selaras, sejalan, dan seimbang dengan segala keterbatasannya.

Coba sesekali kamu bayangkan, dik. Aku lagi boncengin kamu jalan-jalan naik motor, lalu di jalan kamu bawa-bawa paham feminisme dan kesetaraan hak sebagai manusia untuk ikut mengatur kapan ngerem, kapan nyalip, kapan mengklakson, kapan belok, dan seterusnya. Aduh dik, bisa-bisa kita bakalan jatuh nyungsep lalu nyemplung got dan ditertawakan orang deh. Lha kenapa? Karena kita tidak melakukan tugas kita masing-masing sebagaimana mestinya.

Jadi begitu ya, dik? Semoga kamu paham apa yang aku maksud. Aku tidak mau mengubah apapun darimu kecuali nama belakangmu. Itupun kalau besok kita jadi menikah. Aku cuma ingin hidup kita bisa jadi tuntunan bagi orang lain, bukan malah jadi tontonan. By the way, terima kasih sudah berusaha mengingatkanku.