Sajak Anak Kata

Aku, anak kata yang kehilangan bapaknya. Dibiarkan menunggu di halaman-halaman buku yang belum selesai ia tulis. "Aku kehabisan ide." katanya.

Bapak senang duduk merenung memandangi jendela. Jendela rumah sastra jauh lebih jujur dari pemandangan televisi. Televisi menyanyikan dusta, rumah sastra melagukan nestapa,

Jika hujan datang tiba-tiba, bapak lompat-lompat kegirangan. Aroma rumput setelah dibelai rintik air mengingatkannya pada Ibu. Apalagi jika ditambah wangi parfum ibu yang masih tertinggal di sweater bapak. "formula rindu." katanya.

Ibu meninggalkan bapak saat bapak sedang cinta-cintanya, karena ia tidak tahan dengan kebiasaan bapak. Pernah saat mereka bertengkar, aku mendengar bapak berkata, "Bagaimana kau menyuruhku untuk berhenti menulis, padahal tujuanku menulis adalah untuk mengkekalkan kau?" 

Bapak mengalah. Ia relakan ibu pergi. Tanpa sepengetahuan ibu, bapak menyelipkan doa-doa di sepatu ibu untuk menemani langkahnya. Sepatu itu, yang dibeli bapak dengan susah payah, sekarang digunakan ibu untuk berjalan menjauhinya.




"Tidak apa. Setidaknya aku masih memiliki kau, anak kata."

Diet Smartphone

Oleh: Latif Hendra S.*


Sudah beberapa hari ini aku menon aktifkan beberapa media sosial yang aku punya. Banyak sekali orang yang bertanya kenapa aku memutuskan untuk melakukannya. Ada yang mendukung, ada pula yang menyayangkannya. Ada pula yang mencemooh bahwa aku hanya ingin dicari, hanya ingin cari perhatian, pencitraan, omong doang, lebay, dll.

Jadi, dalam tulisan ini, aku ingin memberikan alasannya. Semoga bermanfaat.


***

Aku mempunyai banyak sekali teman di media sosial, tapi aku kesepian. Ya, aku kesepian. 
Hampir setiap hari aku berkomunikasi dengan mereka di media sosial. Kami mengobrol ringan, berbagi foto atau kegiatan yang sedang dikerjakan. Sedapat mungkin aku selalu keep in touch dengan teman-temanku walau hanya sekedar memberi komentar, atau memberi like pada posting-an mereka.

Sampai suatu hari, aku berpikir bahwa sesungguhnya pertemuan yang baik adalah pertemuan yang melihat mata, mendengar kata, dan memahami makna. Selalu ada perasaan yang berbeda ketika menatap langsung mata lawan bicara dibandingkan dengan melihat nama orang yang tertera di layar, beserta gambar dirinya yang terbaik sebagai foto profil.

Kemudian, aku mencoba membuka mata dan melihat keadaan di sekelilingku. Tidak dapat dipungkiri lagi, kita tidak akan bisa lepas 100% dari media sosial. Tapi pernahkah kita berpikir, ketika kita mulai membuka gadget untuk melihat dunia, sebenarnya kita sedang menutup pintu dunia kita yang lain? Semua tatanan yang tercipta dari teknologi canggih ini hanyalah sebuah ilusi; pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, kebersamaan. Semuanya!

Awal aku melakukan program diet smartphone ini, aku melihat dunia yang sangat membingungkan. Kita seakan diperbudak oleh teknologi yang kita ciptakan sendiri. Dunia dipenuhi dengan pencitraan, promosi diri, dan kepentingan pribadi yang menimbulkan sikap apatisme terhadap orang lain. Kita menjadi generasi yang haus akan pengakuan. Saling menjatuhkan satu sama lain lewat debat-debat di dunia maya, memaksakan diri untuk mengikuti trend yang sedang hits dan kekinian, memasang foto selfie, memamerkan ketampanan dan kecantikan untuk berlomba-lomba mendapatkan likes dan pujian: “cantik kak”, “followback kak”. Bah! Bahkan ada selentingan iseng yang muncul bahwa standard hits atau tidaknya seseorang, ditentukan oleh adanya iklan-iklan online shop di akun media sosial mereka. Dunia macam apa ini? Kita terlalu sibuk membanggakan diri sendiri dan mengharapkan pujian orang lain, sampai tidak sadar bahwa kita sedang terasing di kehidupan sosial.

Ada kalanya pula kita sedemikian rupa merangkai kata hingga terlihat bahwa hidup kita indah dan baik-baik saja. Mencomot quote-quote dari tokoh ini dan itu yang membenarkan hati kita bicara walau terkadang kita sendiri tidak pernah tahu siapa tokoh yang ucapannya kita kutip itu sebenarnya. Mengikuti pemikiran-pemikiran official account galau dan egois yang melemahkan mental. Menceritakan permasalahan-permasalahan hidup kita yang sepele ke lini masa, sampai kita lupa bertanya, “Apakah orang lain peduli?”

Belum lagi permasalahan saling judge satu sama lain. Omongan di media sosial lebih dianggap serius daripada di dunia nyata. Kebenaran menjadi abu-abu karena kita bebas membentuk citra diri. Kita senang mencari teman baru, padahal mereka tidak sepeunhnya mengenal kita  dan kita juga tidak sepenuhnya mengenal mereka. Munculah stigma-stigma dan anggapan miring akibat ekspektasi yang melenceng dari seseorang tentang diri kita.

Aku merindukan masa-masa dimana aku mendatangi teman-temanku atau mereka mendatangiku. Kita berteman tanpa punya kepentingan. Lalu kita merasa menjadi manusia yang paling tampan dan bahagia ketika saling berbagi pengalaman. Saling menyediakan sepasang telinga yang utuh dan jiwa yang penuh terhadap apa yang diceritakan oleh lawan bicara, sekonyol apapun cerita itu. Tidak mudah terdistraksi oleh “teman-teman lain” di luar sana. Menceritakan pengalaman saat liburan dengan mata berapi-api dan menunjukkan foto-foto yang sudah tersusun rapi dalam album yang mampu membawa para pendengarnya seakan masuk dan ikut dalam perjalanan tersebut. Aku pikir itu lebih menyenangkan daripada mengetahui cerita teman kita lewat postingan-postingan yang mereka unggah di Path. Aku merindukan sensasi rasa ingin tahu dan penasaran yang nyata. Aku lebih memilih tidak tahu lalu mencari tahu daripada sudah tahu tapi bersikap tidak mau tahu.

Saat aku kecil, dapat dikatakan aku jarang ada di rumah. Selalu bersepeda bersama teman-teman mengitari kompleks perumahan. Kadang aku terjatuh, tangan lecet-lecet, kulit kaki mengelupas, kemudian menangis. Tapi anehnya, aku tetap mengulanginya. Luka tidak bisa merebut kebahagiaanku. Imajinasi bebas mengalir tanpa takut anggapan-anggapan aneh dari orang lain. Tawa seakan tak pernah lepas dari sudut bibir mungilku. Satu-satunya hal yang bisa menghentikanku adalah teriakan Ibu menyuruhku pulang untuk mandi dan pergi shalat maghrib ke masjid.

Sekarang, taman-taman bermain sepi. Tidak ada anak-anak yang berlarian sambil berkejar-kejaran, meloncat, berteriak, dan menangis karena terjatuh. Ayunan tidak lagi terayun. Tidak lagi tergambar kotak-kotak permainan engklek di tanah pekarangan. Tidak ada lagi raut muka anak-anak kecil mengintip kecil, menahan tawa, saat bermain petak umpet. Sudah jarang ditemui anak-anak menghabiskan sorenya dengan kebahagiaan-kebahagiaan remeh, receh. Mungkin seperti hal yang mustahil bagi orang tua sekarang untuk dapat menghibur putra-putrinya tanpa menggunakan gadget canggih berisi ratusan permainan-permainan seru tapi menyedihkan, menyendirikan.

Pada satu waktu, aku juga merasa sedih ketika saudara sepupuku yang masih duduk di bangku SD, lebih asyik bermain gadget-nya daripada bermain dengan saudara-saudara lain yang notabene jarang bertemu jika tidak Idul Fitri. Puncaknya, adalah pada saat aku diantarkan keluargaku ke stasiun untuk kembali ke kota perantauan. Alih-alih menghabiskan waktu untuk saling berbicara, mereka asyik dengan smartphone-nya. Mereka lebih memilih berbicara dengan teman-temannya di grup WhatsApp daripada dengan anaknya yang sebentar lagi meninggalkan mereka!

Lain waktu, aku tidak tahan ketika melihat keheningan dalam mobil yang penuh sesak ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama teman-temanku. Masing-masing asyik dengan dunianya sendiri. Di ruang tunggu stasiun, di kafe, di depan ruang dosen saat menanti jadwal bimbingan, tidak seorangpun mengajak bicara orang di dekatnya karena takut dibilang aneh. Kita duduk berdekatan, tapi hati kita jauh. Hampir semua kepala tertunduk, memanjatkan doa ke hadirat smartphone yang Maha Kuasa. Mengutip perkataan salah seorang temanku, “Kita ini adalah generasi-generasi idiot. Manusia bodoh membawa gadget canggih. Dumb people with smart phone.”

Kita menjadi anti sosial, tidak lagi terpuaskan dengan hubungan interpersonal yang saling bertatap mata. Aku takut anak-anakku, anak-anak kita, kelak dilahirkan dan dibesarkan dengan melihat kita hidup layaknya sebuah robot (lebih parah lagi jika mereka menganggap itu sebagai hal yang normal.)

Sendirian bukanlah masalah, teman. Itulah intinya. Jika kamu berani jujur pada diri sendiri untuk melakukan apa yang memang kamu sukai, kamu tidak pernah sendirian. Kamu akan produktif dan tetap diakui secara nyata. Kamu akan sepenuhnya sadar dan memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya. Jika kamu sedang berada di tempat umum dan merasa kesepian, jauhkan tanganmu dari gadget-mu, tengoklah ke kanan dan kirimu, ajaklah bicara manusia-manusia di sebelahmu. Belajarlah hidup bersama, mulai dari hal yang sederhana.

Aku tidak mengatakan dapat lepas 100% dari smartphone. Aku masih membutuhkan informasi dari luar. Aku hanya ingin belajar lebih menghargai orang di sekitarku karena aku sedang merasa kehilangan aku di dunia nyata, dan aku ingin mencarinya, menjemputnya.

Aku tidak ingin memaksa siapapun yang membaca tulisanku ini untuk mengikuti langkahku. Perubahan datang dari diri sendiri. Sekarang aku ingin mencoba mengalihkan perhatian dari smartphone-ku; mematikan layarnya, mensenyapkan suaranya, lalu mulai menghidupkan lingkungan di sekitarku, memberi makna bagi orang-orang di dekatku. Aku ingin memulai hubungan yang nyata, untuk menunjukkan perbedaan yang diciptakan oleh sebuah kehadiran. Itu saja.

***

Sementara waktu ini, jika teman-teman membutuhkanku, silakan kontak ke:
- WhatsApp : 0838 663 17269
- SMS/Call   : 0812 325 79569
- Email        : latifhendra.s@gmail.com

Untuk beberapa aplikasi seperti instagram (@latifhendra) dan blog (latifhendra.blogspot.com), masih aku gunakan untuk berkarya.



Sampai jumpa di dunia nyata!



*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya..
Mantan Redaktur Pelaksana Majalah LPM Perspektif FISIP UB.
Mantan Manajer Audio-Visual Indonesian Future Leader Chapter Malang.


Reuni

Matahari senja mulai duduk di singgasananya. Hawa dingin seakan menggerayangi tubuh. Rintik hujan melengkapi teduhnya pertemuan kita sore ini. Setelah sepuluh tahun kita lulus dan meninggalkan kota ini, hari ini kita dipertemukan kembali oleh-Nya di tempat yang mungkin tidak pernah kita duga.

Aku bisa membaca rasa cinta yang masih terpancar dari sorot mata kita. Namun kali ini situasinya berbeda. Kau bersama suamimu, aku membawa istriku.

"Kamu ingat kafe ini, Ka?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.

Kepalamu tertunduk, kemudian mengangguk perlahan, dan tersenyum. Senyum yang sama saat pertama kali kita duduk berdua di kafe ini, di bangku ini.

"Kamu mau pesan apa?" Tanyamu.
"Teh tarik hangat saja, tanpa gula."
"Tumben tidak pakai gula? Dulu kamu selalu minta tambah gula?"
"Ah, itu kan dulu. Sekarang tidak saja." Jawabku.

Kika, Kika. Seandainya kamu tahu, betapa ingatan tentangmu akan selalu terasa manis meski aku tidak menambahkan gula ke dalamnya. Sepuluh tahun yang lalu, di kafe ini, ingatlah bahwa ada seorang lelaki yang sedang merasa bahagia dalam kikuk jumpa pertamanya denganmu; aku.

SYARAT MENJADI ISTRIKU

kalau besok aku udah kerja, aku mau punya istri satu aja. tapi harus yang solehah, cakep, dan terpandang sekalian. biar istriku ini tahu malu dan nggak berusaha biar kelihatan cakep, terus nuntut dibeliin ini itu biar dipandang orang.

aku nggak mau korupsi gara gara istri. aku nggak mau selingkuh dengan alasan perempuan lain menerima aku secara penuh.

sambil nunggu, aku juga harus nyiapin diriku dulu. biar besok istriku yang mendekati sempurna itu nggak malu punya suami kaya aku. 

adil kan?