Lebaran


Dek, setelah sebulan penuh berpuasa, alhamdulillah akhirnya hari ini kita diberi kesempatan untuk merayakan hari kemenangan. Namun, apa iya kita benar-benar menang?

Apa kita benar-benar memanfaatkan bulan Ramadhan lalu sebaik mungkin untuk melatih diri kita sendiri untuk menahan hawa nafsu? Hawa nafsu itu banyak lho dek. Ada nafsu makan, nafsu amarah, nafsu seksual, dll. Apa kita sudah berhasil mengendalikan mereka? mengendalikan diri kita?

Kalau cuma menahan haus dan lapar sih, pengemis dan tuna wisma lebih jago daripada kamu. Lah kalau nafsu-nafsu yang lain? Susah lho dek. Kadang saya sendiri juga masih 'kecolongan' oleh nafsu-nafsu yang lain. Kalau kamu bagaimana?

Ah dek. Memang dasar manusia tempatnya berbuat dosa. Tinggal kita sendiri yang mau mencari kebenaran atau tidak. Jangan sampai kita mudah menyalahkan orang lain karena dosanya berbeda dengan kita.

Seperti kata Cak Nun, "Kalau kamu sudah merasa hidupmu benar dan orang lain salah, kalau shalat, Al Fatihah nggak usah dibaca lengkap. Ihdinassiratal mustaqiim nggak usah dibaca. Karena kita selalu mencari kebenaran, maka kita selalu Ihdinassiratal mustaqiim".

Ingat ya dek, lebaran itu ajang kita memperbarui diri. Bukan sebagai hari kebebasan untuk melakukan dosa seperti dulu lagi. Berlebaranlah secara biasa-biasa saja. Minta maaflah sebesar-besarnya. Gengsinya dikondisikan dulu sebentar, hehehe.

Dek, dimanapun kamu berada sekarang, saya ucapkan selamat berlebaran. Titip salam buat keluargamu yang inshaAllah bakal jadi keluargaku juga.

Penyelamat

Yang dia bicarakan bukan merk 
handphone terbaru, film yang baru keluar di bioskop, isu LGBT, Brexit, koruptor buronan negara atau konflik Natuna. Yang seringkali dia bicarakan adalah, "Besok, anak-anak ini mau dikasih makan apa?"

Orang-orang seperti Pak Puger itu ajaib. Mengurus dan merawat anak-anak penderita HIV/AIDS. Pekerjaan yang berat baik secara fisik maupun psikis. Tidak kalah melelahkannya dengan pekerjaan-pekerjaan robot berdasi di pusat kota sana. Pekerjaan yang kalau bisa, setiap manusia zaman sekarang terhindar darinya. Apakah hina? Tidak. Apakah buruk? Juga tidak. Tapi pokoknya kalau bisa, setiap orang tua menganjurkan untuk tidak menjadi seperti mereka (minimal menjaga jarak dengan mereka). Seolah-olah karena masa depannya tidak cerah karena terlampau dekat dengan salah satu penyakit paling mematikan di planet ini dan tak ada yang bisa dibanggakan dari pekerjaan semacam itu. Ya minimal jadi PNS sajalah, syukur-syukur jadi karyawan kantoran yang gajinya jelas dan ruangannya ber-AC. Soalnya kalau tidak begitu, mana bisa punya rumah, mobil, dan tabungan? Mau jawab apa kalau ditanya saudara-saudara pas lebaran?

Tapi banyak manusia zaman sekarang lupa bahwa aktivis-aktivis tersebut lebih unggul dalam kualitas jasmani dan rohaninya. Biar sering bersinggungan langsung dengan penderita HIV/AIDS, usia 42 tahun masih berdiri tegap dan sigap. Setiap momen juga ia syukuri dan gunakan sebaik mungkin untuk tidak menyia-nyiakan apa yang sudah Tuhan karuniakan pada manusia. Bayangkan, sambil cekikikan, ia menceritakan tentang beberapa anak asuhnya yang meninggal. Lalu dia dan malaikat ketawa cekikikan bersama-sama. Padahal kalau dipikir-pikir, kehilangan seseorang itu kan bisa sangat menyedihkan? Kok ya bisa anak asuhnya meninggal tapi masih bisa tersenyum dan melanjutkan hidup? Ah, mungkin karena mereka memandang kematian sebagai sesuatu yang agung dan mulia. Seperti kata Sudjiwo Tedjo, "Esensi Innalillah bukanlah Turut Berduka Cita seolah-olah kehidupan dunia ini adalah segala-galanya, tapi dari Tuhan kembali ke Tuhan. Dengan menyebutkan Turut Berduka Cita, maka di mindset-mu kehidupan di dunia adalah segala-galanya. Sayang banget kalau meninggalkan dunia. Kita harus mengajar dan mengingatkan keluarga yang ditinggalkan, bahwa kematian itu suci."

Di sisi lain, beberapa diantara kita bersedih hati karena belum mampu beli handphone keluaran terbaru. Beberapa diantaranya mengutuki keadaan karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Beberapa diantaranya lagi sedang menangis sendu mengeluhkan dirinya yang tidak bisa move on dari pacarnya yang ganteng/cantik. Itukah yang kita harapkan dari hidup ini? Mengejar kemewahan daripada kemuliaan? Menyia-nyiakan kemampuan manusia untuk bersyukur dengan keadaan?

Kemudian ia sejenak berdiri dan menyapu pandangan ke kerumunan anak-anak itu. Menatap lembut wajah polos anak-anak asuhnya satu persatu. Perasaan kasih sayang dan optimisme tergambar di wajahnya yang lelah. Di kantung matanya yang menebal.